PUING DINDING

Riski siswa kelas 4 SD yang tinggal di sebuah desa terpencil yang sangat indah di pedalaman hutan Kalimantan. Jika dari kota, perlu 7 jam melewati hutan untuk sampai ke desa itu.

Betapa bahagianya Riski saat pulang dari sekolah melihat mobil baru terparkir di halaman rumah, hasil dari usaha ayah menjual kayu yang diambil dari hutan di desa. Kini perabotan rumah sudah lebih banyak dan beragam. Standar hidup keluarga Riski memang sedang meningkat. Tentu saja, penghasilan ayah meningkat drastis saat ayah menambah penjualan kayu ke kota.

"Ayah, ayo bawa aku jalan-jalan pakai mobil baru" kata Riski kegirangan.

"Memangnya kamu sudah siap? sana tukar baju dulu!" kata ayah menantang seru anak kesayangannya itu.

Riski berlari masuk rumah, dan ternyata di samping pintu kamarnya ada televisi baru. Dengan rasa penasarannya yang tinggi, Riski  mengganti baju di depan televisi tersebut yang sedang menyiarkan berita cuaca, bahwa akan ada angin musiman dari samudera pasifik yang membawa awan dalam jumlah berkali-kali lipat ke wilayah Indonesia. Diperkirakan akan terjadi hujan untuk beberapa hari ke depan.

Ayah dan Riski dengan mobil barunya melaju di jalanan desa, menembus keramahan warganya. Tegur dan saling sapa antar warga, suara-suara burung dan suara sungai, keindahan yang tiada duanya yang takkan pernah ada di perkotaan.

"Tadi riski juga liat televisi baru" kata Riski.

"Ho oh" senyum ayah sedikit melirik Riski.

"Ayah dapat uang dari mana?"

"Ya dari usaha ayah bersama teman-teman ayah, dan paman-pamanmu menjual kayu ke kota" kata ayah menjelaskan.

"Tapi yah, apa mereka tidak marah kalau ayah mengambil kayu?"

"Mereka siapa? Tanya ayah agak heran.

"Itu mereka para hantu penghuni hutan, pocong, kuntilanak, genderuwo, kurcaci, peri hutan"

"Hahaha kalau mereka ayah udah izin, malah kadang mereka turut membantu. Hahaha" kata ayah berkelakar.

"Bagaimana dengan si monyet dia kan pemarah, lalu si burung, atau si harimau raja hutan yang bijaksana nanti dia ajak pasukannya menyerang desa kita." 

Riski dan ayah masih mengobrol akrab sambil melintasi jalan sempit pedesaan. Sampai mereka harus pulang karena di langit tampak mendung hitam tanda akan datang hujan yang sangat lebat.

Sesampainya mereka di rumah hujan mengguyur semakin deras. Got got rumah terisi penuh. Kondisi sungai di belakang rumah Riski nampak agak berbeda. Permukaan air sungai naik melebihi batas biasanya. Air sungai yang bening berubah jadi kuning cokelat, deras dan bergelombang. Sementara keluarga Riski di dalam rumah bercengkerama selayaknya keluarga harmoni, begitupun dengan keluarga-keluarga lain di rumah-rumah lain di desa.

Hujan di hari kedua, permukaan air sungai kini sudah hampir mencapai pondasi rumah Riski. Ayah melihat-lihat dengan mengerenyitkan dahi. Sementara tetangga ada yang sedang membersihkan dan memperlancar saluran air atau got.

Sudah tiga hari hujan turun deras seolah-olah enggan berhenti, warga desa mulai sulit untuk sekedar belanja ke pasar ataupun bekerja. Anak-anak banyak yang tidak ke sekolah. 

Hujan di hari keempat, malapetaka terjadi. Air sungai naik sampai ke jalanan desa. Terus menerobos ke rumah-rumah, menabrak sawah-sawah, kebun, dan rumah warga. Hanyut dinding-dinding rumah, atap-atap, pagar, ternak dan kendaraan. Termasuk mobil baru milik keluarga riski tampak terseret arus. Listrik mati, dan sinyal komunikasi handphone hilang.

Warga yang panik mengungsi ke bagian desa yang lebih tinggi di kaki perbukitan. Beberapa mencari-cari sanak keluarganya yang belum diketemukan. Sambil melihat betapa ganasnya air menyeret segenap harta benda mereka. Seremeh bulu yang ditiup angin, seketika perjuangan dan usaha bertahun-tahun lenyap ditelan dinginnya hujan dan ganasnya amukan sungai.

Hari kelima, hujan masih belum berhenti, walau sudah sedikit berkurang menjadi rintik-rintik gerimis. Warga yang mengungsi kekurangan shelter menggunakan terpal seadanya dan kain2 sebagai selimut. Makanan sudah hampir habis, sementara bantuan dari kota mungkin sampai lebih lama karena jauh dan sulitnya akses maupun cuaca.

Air bersih didapat dari menampung air hujan. Karena air sungai berwarna kuning dan belum surut. Sementara makanan diperoleh dari memungut dari toko-toko yang ditinggal. Pakaian yang basah sulit kering, membuat banyak anak-anak kedinginan dan demam. 

Semakin bertambah waktu semakin parah kondisi warga yang mengungsi. Satu demi satu ibu-ibu menangis meratapi keadaan. Sementara banyak bapak-bapak yang menatap kosong ke wajah anak istrinya.

Entah apa nama situasi saat itu, ada keputusasaan, ada pula rasa kecewa, kadang marah, semua bercampur aduk. Begitu pula Riski, kebahagiaannya memiliki mobil dan perabotan baru ternyata tak bertahan lama.

Hari keenam. Bantuan dari kota datang, belasan mobil datang setelah perjalanan jauh yang sulit dari kota. Kini hujan sudah reda dan matahari nampak terik bersinar.

Bala bantuan dari kota melaksanakan tugasnya sesuai prosedur. Ada yang mendirikan tenda, mendirikan dapur umum, membangun toilet umum, posko medis, dan banyak lagi. Nampak pula gesitnya mahasiswa-mahasiswa pecinta alam terjun langsung dengan tangkas dan cekatan membantu, memenuhi kebutuhan dan menyelesaikan masalah warga.

Hari ketujuh dan kedelapan, sebagian warga sudah kembali ke rumah masing-masing. Beberapa toko sudah mulai dibuka. Riski dan ayah terlihat meninjau sisa-sisa puing rumahnya yang terseret arus.

Hujan dan air memang berhenti, namun itu menyisakan melonjaknya populasi nyamuk dan kodok yang menyerang ke rumah-rumah. Malaria dan demam menyerang. Banyak pula warga yang terkena kutu air, gatal-gatal dan penyakit kulit lainnya. Kebutuhan obat-obatan meningkat.

Waktu berlalu.

Tepat hari senin, satu minggu setelah bencana air bah di desa.

Pagi itu Riski tidak sekolah, baju sekolahnya yang hilang belum diganti ayah. Ibu pun tidak masak, karena tidak ada bahan makanan maupun peralatan dapur. Hanya menunggu logistik dari posko bantuan bencana, itupun siang nasi bungkus seadanya sedangkan malam hanya mie instan.

Riski teringat tentang hari itu. Hari dimana ia mendapati mobil barunya sepulang dari sekolah. Dimana hari itu disekolah ibu guru berkata bahwa 

"Hutan adalah penjaga dan sumber penghidupan kita. Jika kita membunuh hutan, maka sama saja dengan kita bunuh diri."

Riski duduk di puing dinding kamarnya, bergumam dalam hati

"Hutan marah pada kita" menungnya masih kosong.

Pada akhirnya manusia harus menemui batasannya. Yang memaksa manusia sadar bahwa tidak segala hal bisa dikendalikan. Tidak semua kemauan bisa diupayakan dengan nafsu, hasrat dan ambisi. Untuk itu manusia harus belajar mengendalikan diri, menghargai kebijaksanaan hidup, menjaga kesimbangan alam, dan mencintai alam sebagai bagian yang tak terpisahkan dari manusia.

Riski berdiri dari duduknya sesaat setelah ayah memanggil. Sementara hutan itu, sungai, warga desa, manusia dan alam masihlah menjadi kerabat sampai hari ini.

Postingan populer dari blog ini

GUNUNG SAGO VIA KAYU KOLEK (SIKABU)

KUNCI PERUBAHAN INDONESIA