KEPEMIMPINAN DALAM MAPALA


Buku pelajaran Mengajarkan bahwa kepemimpinan merupakan seni mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan bersama. Namun bukankah kepemimpinan merupakan hal yang tak dapat dipelajari hanya melalui kognisi maupun text-book. Persis seperti seni, bisa saja seseorang belajar dan sekolah di institut seni namun apakah pelajaran disetiap sks dan ijazah dapat memastikan bahwa semakin tinggi pendidikan seni maka semakin tinggi pula nilai seni dari karya-karyanya?

Begitu pula dengan seni kepemimpinan. Ilmu kepemimpinan tak serta-merta didapat dari mendengar dan membaca. Pengalaman, jam terbang, renungan, tempaan, dan pengulangan menjadi unsur-unsur yang membangun kadar kepemimpinan seseorang.

Bisa saja kepemimpinan seorang anak konglomerat yang tiba-tiba menjadi pemimpin di organisasi atau pewaris perusahaan, justru tidak lebih baik dari kepemimpinan mahasiswa yang berorganisasi di kampus terutama Mapala. Hal ini ditentukan oleh banyak faktor dan sudut pandang penilaian. Menurut penulis, ada 4 skill pemimpin: 1. Adil, 2. Wali, 3. Prioritas, 4. Teladan

1. Adil

Pemimpin semestinya berlaku adil, menegakkan keadilan dan berpihak pada keadilan. Adil berarti meletakkan sesuatu pada tempatnya ("batampek-tampek" dalam bahasa minang). Netral bukanlah pilihan tepat bagi pemimpin. Pemimpin memang semestinya berpihak, yaitu berpihak pada keadilan, berpihak pada tegaknya kebenaran.

2. Wali

Pemimpin harus mampu mewakili golongannya, dia pula lah orang yang paling mewakili golongannya. Ibarat dalam golongan para seniman, seorang yang paling berjiwa seni dan memiliki semangat seni paling besarlah yang menjadi wali dari golongan tersebut. Pemimpin wali dalam dunia mapala ialah sosok yang paling mencintai alam, memiliki semangat paling besar dalam kepecintaalaman, dan menjadi orang yang paling mampu mewakili seorang mapala. Tentu untuk menunjang skill ini diperlukan rasa bangga terhadap jati dirinya sebagai mapala dan mampu mengumpulkan aspirasi sehingga bisa merumuskan tujuan bersama.

3. Prioritas

Disiplin ialah skill yang harus lebih dimiliki anggota/karyawan/bawahan. Begitu pula rapi, jeli, dan semua skill menjurus lainnya. Tapi dalam tahap pemimpin/top manajemen, skill yang dibutuhkan justru lebih bersifat generalis.

Skill top manajemen salah satunya ialah mampu memprioritaskan urusan diantara down manajemennya. Pada level kepemimpinan pula tujuan diprioritaskan diantara tujuan-tujuan lain begitu pula prioritas kepentingan, prioritas di antara anggota, dan sebagainya.

4. Teladan

Sebagai orang yang dikedepankan, otomatis sosok pemimpin menjadi selalu terlihat (public figure). Bawahan secara naluriah menganggap bahwa pemimpin ialah (secara de jure) orang yang lebih memiliki organisasi atau manajemen. Oleh karena itu bawahan akan ragu dalam melakukan inisiatif atau menambahkan hal-hal baru dalam budaya organisasi. Untuk mencegah agar tidak terjadinya kesalahan maka bawahan lebih memilih meniru atasannya. Untuk itulah maka seorang pemimpin harus mampu menjadi teladan yang baik. Karakter yang baik dari bawahan atau anggota justru dapat hancur jika pemimpin tidak memberikan teladan. Keteladanan dalam hal ini juga diiringi oleh arahan seperti membenarkan tindakan yang benar dengan apresiasi atau reward, dan menyalahkan tindakan yang salah dengan hukuman atau teguran.


Mapala Produsen Pemimpin

Diantara banyak skill seperti kemampuan penalaran, kemampuan perasaan, maupun kemampuan kebijaksanaan tentu kita lebih mengandalkan kebijaksanaan sebagai pengambil keputusan. Kebijaksanaan tidak lahir begitu saja atau diperoleh dari bakat sejak lahir. Namun kebijaksanaan lahir dari tempaan, pengalaman hidup, ujian, penyelesaian masalah, pengulangan, dan renungan. Semua kesempatan pembelajaran untuk memperoleh kebijaksanaan disediakan dalam aktivitas Mapala.

Kemampuan pengambilan keputusan di saat genting dan kritis dilatih saat seseorang menjadi pemimpin dalam pendakian gunung yang kebetulan menghadapi darurat keselamatan. Rasa kepedulian kemanusiaan dilatih saat seseorang menjadi relawan korban pendakian yang hilang. Kemampuan pengendalian diri dilatih saat seseorang yang mendapati langkah demi langkah perjalanan panjang menuju puncak gunung. Semangat perjuangan dan pantang menyerah juga terpupuk segar saat pendakian mengingat beratnya medan dan tanggungan beban yang di bawa. Beraktivitas sebagai anggota Mapala juga membentuk skill visioner di mana ekspeditur menyusun visi yang terang dan diwujudkan dalam misi melakukan ekspedisi yang dituntut rapi sedemikian rupa. Pada intinya aktivitas Mapala yang dekat dengan alam bebas membentuk karakter manusia menjadi lebih baik terutama karakter dan skill kepemimpinan. 

Postingan populer dari blog ini

PUING DINDING

GUNUNG SAGO VIA KAYU KOLEK (SIKABU)

KUNCI PERUBAHAN INDONESIA